Nusa Dua Bali, wartaterkini.news–Koalisi organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyimpulkan, bahwa resiliensi terhadap bencana merupakan nilai yang sudah mendarah daging dalam kehidupan setiap masyarakat di tanah air. Sikap penyintas itu, menjadi pilar utama masyarakat Indonesia ertahan dari beragam bencana alam yang melanda.
“Kita bisa menyimpulkan bahwa resiliensi terhadap bencana merupakan DNA dari kita, jati diri bangsa Indonnesia,” kata Director of Community Development and Humanitarian Yakkum Emergency Unit (YEU), Arshinta, di Media Center Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR), Nusa Dua, Bali, Jumat (27/5/2022).
Hasil tersebut, didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap 500 orang responden dari berbagai lapisan masyarakat. Dari kegiatan itu menunjukkan, bahwa kemampuan masyarakat Indonesia dalam bertahan dari berbagai bencana cukup tinggi.
Dari penelitian itu, setiap masyarakat dapat melakukan gerakan bersama dalam mengatasi dampak bencana alam yang melanda untuk membantu sesama masyarakat. Sikap itu secara spontan muncul, di tengah-tengah bencana alam yang sedang melanda masyarakat.
“Setelah diukur melalui survei, gerakan bersama mengumpulkan bantuan yang dibutuhkan oleh masyarakat terdampak bencana langsung maupun tidak langsung, begitu cepat terbentuk di Indonesia,” kata Arshinta.
Gotong royong bisa menjadi faktor utama masyarakat Indonesia melaksanakan resiliensi terhadap bencana yang menghadang. Karena, hal itu merupakan kearifan lokal yang sudah berjalan secara turun-temurun dan memiliki nilai kebersamaan.
Nilai itu akan mendorong masyarakat melakukan gerakan bersama, contohnya dalam menangani pandemi.
“Kami sangat yakin kearifan lokal, merupakan modal yang harus dikembangkan termasuk dalam penanganan pandemi dan bencana lainnya,” imbuhnya.
Di sisi lain, koalisi menekankan, ada tiga poin penting yang dihasilkan dalam ajang GPDRR. Pertama, ketersediaan data masyarakat sesuai dengan karakteristik. Agar, penanganan bencana alam yang dilakukan tetap efektif.
“Kedua, pentingnya kapasitas dan kepemimpinan lokal. Untuk perkuatan penanganan pandemi dalam pengambilan keputusan. Supaya menjadi lebih efektif, tepat, dan cepat,” kata Arshinta.
Terakhir, komitmen seluruh pemangku kepentingan dalam memastikan tidak ada seorangpun yang ditinggalkan dalam agenda pembangunan berkelanjutan. Dapat diterjemahkan dalam bentuk pembenahan tata kelola hak dasar yang lebih inklusif dan terintegrasi.
Dengan pendekatan yang lebih partisipasi dalam semua lini sektor yang ada. “Menggunakan kerangka pemenuhan hak asasi manusia baik yang kita lanjutkan,” pungkas Arshinta. (Infopubli)