banner 728x250 banner 728x250

Dimulai dari Fee Hingga Pencairan Proyek, Ini Kronologi Lengkap OTT KPK di OKU

Jakarta, wartaterkini.news–Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan (Sumsel) diguncang skandal korupsi besar yang melibatkan sejumlah anggota DPRD dan pejabat daerah.

Kasus ini mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan menetapkan lima tersangka, termasuk tiga anggota DPRD OKU.

Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan bahwa kasus ini berawal dari upaya sejumlah anggota DPRD OKU yang menagih jatah fee proyek kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) OKU, Nopriansyah (NOP).

Fee tersebut merupakan bagian dari komitmen proyek yang telah disepakati sebelumnya.

Modus yang digunakan dalam kasus ini berawal dari pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD. Pokir merupakan usulan proyek dari anggota DPRD yang kemudian disetujui oleh pemerintah daerah untuk dianggarkan.

Dalam kasus ini, pokir yang diajukan para tersangka melibatkan berbagai proyek strategis, di antaranya: rehabilitasi rumah dinas bupati dan wakil bupati, renovasi kantor Dinas PUPR OKU, perbaikan sejumlah ruas jalan, pembangunan jembatan.

Awalnya, total nilai proyek pokir yang disepakati dalam RAPBD 2025 mencapai Rp 40 miliar namun akhirnya dikurangi menjadi Rp 35 miliar.

Dari jumlah tersebut, anggota DPRD diduga meminta fee sebesar 20 persen atau sekitar Rp 7 miliar.

Dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Minggu (16/3), Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa tiga anggota DPRD OKU yang terlibat adalah, Ferlan Juliansyah (FJ)-Anggota Komisi III DPRD OKU dari Fraksi PDI Perjuangan, M Fahrudin (MFR)-Ketua Komisi III DPRD OKU dari Partai Hanura dan Umi Hartati (UH)- Ketua Komisi II DPRD OKU dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Baca Juga :  OTT di Kalsel, KPK Amankan 10 Miliyar Lebih Uang Fee Proyek

Ketiganya menagih pencairan fee proyek kepada Kepala Dinas PUPR OKU, Nopriansyah. Dijanjikan bahwa fee tersebut akan dicairkan sebelum Hari Raya Idul Fitri melalui pencairan uang muka sembilan proyek yang telah disepakati.

Dalam rangka merealisasikan pembayaran fee, dua pihak swasta yang terlibat dalam proyek tersebut, yakni M Fauzi (MFZ) alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS), memberikan uang kepada Nopriansyah.

Awal Maret 2025: ASS menyerahkan uang sebesar Rp1,5 miliar kepada Nopriansyah sebagai bagian dari komitmen fee.

Beberapa hari sebelum OTT: MFZ menyerahkan uang senilai Rp 2,2 miliar yang dititipkan kepada seorang pegawai negeri sipil (PNS) berinisial A. Uang ini bersumber dari pencairan uang muka proyek yang telah direncanakan.

KPK yang telah mengintai pergerakan ini kemudian bergerak cepat. Tim penyelidik KPK mendatangi rumah Nopriansyah dan PNS berinisial A. Dari hasil penggeledahan, KPK menemukan dan mengamankan uang sebesar Rp 2,6 miliar, yang merupakan bagian dari fee proyek untuk DPRD.

Operasi Tangkap Tangan KPK

Setelah mengumpulkan cukup bukti, KPK melakukan OTT pada Sabtu (15/3). Dalam operasi ini, KPK menangkap sejumlah pihak, termasuk anggota DPRD, Kepala Dinas PUPR, serta dua pihak swasta yang terlibat dalam skema suap proyek.

Baca Juga :  KKP Dorong PT Garam Penuhi Kebutuhan Nasional

Dalam keterangannya, Ketua KPK Setyo Budiyanto menyatakan bahwa kasus ini merupakan bentuk nyata dari praktik korupsi berjamaah yang melibatkan legislatif dan eksekutif di tingkat daerah dengan jeratan pasal 12a atau 12b, 12f, dan 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda miliaran rupiah sedangkan pemberi suap (pihak swasta), yakni M Fauzi (MFZ) alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS) dengan dijera Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Skandal ini menjadi pukulan telak bagi dunia politik di Kabupaten OKU. Masyarakat yang selama ini berharap adanya transparansi dan integritas dari para wakil rakyat kini merasa dikhianati. (**)